Skip to content
Media Tawangsari

Media Tawangsari

Kelompok Informasi Masyarakat

  • Profil
    • Pengurus
  • Berita
  • Youtube
  • Galeri
  • Toggle search form

Denyut Pasar yang Menunggu Hidup Kembali

Posted on September 13, 2025September 13, 2025 By admin No Comments on Denyut Pasar yang Menunggu Hidup Kembali

oleh : Indra Gusnady

Pagi itu, suasana Pasar Minggu tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hiruk-pikuk pedagang membuka lapak, suara motor pengangkut barang yang keluar-masuk, dan aroma sayur segar bercampur dengan gorengan hangat. Di pojok pasar, sebuah warung kopi sederhana menjadi tempat singgah banyak pedagang. Kursi kayu berjejer, televisi kecil menggantung di sudut, dan percakapan riuh mengiringi aroma kopi hitam yang baru diseduh.

Pak Rahmat, penjual sembako yang sudah dua puluh tahun membuka kios, duduk sambil membuka koran. Matanya tertumbuk pada sebuah berita besar: “Pemerintah mencairkan dana jumbo, 200 Trilyun! dari Bank Indonesia untuk memperkuat likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit.” Ia membacakan dengan suara agak lantang, membuat Bu Yani—penjual kue basah—ikut menoleh. “Wah, katanya ada uang segede itu masuk ke bank. Katanya supaya kredit lancar, UMKM bisa terbantu, ” ujarnya dengan nada setengah tak percaya.

Bu Yani tersenyum kecut. “Kalau bener, semoga kita kebagian. Soalnya sejak tahun lalu, penjualan turun terus. Orang makin hemat, jarang belanja jajan. Kalau ada modal murah, bisa bikin varian baru, ” katanya. Obrolan itu menarik perhatian pedagang lain. Sontak warung kopi berubah jadi forum kecil membicarakan nasib mereka. Bagi pelaku usaha kecil, kabar besar semacam ini bukan sekadar angka di koran. Itu adalah harapan, meski seringkali hanya berhenti di tataran wacana.

Kenyataan di pasar tak seindah kabar yang mereka dengar. Sejak pandemi, ditambah inflasi yang merangkak naik, daya beli masyarakat kian rapuh. Penghasilan banyak orang tak secepat harga kebutuhan. Akibatnya, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama ekonomi menurun pelan tapi pasti. Pak Rahmat merasakannya betul. Dulu, ia bisa menjual sepuluh karung beras dalam seminggu. Kini, setengahnya pun belum tentu habis. “Orang lebih sering beli setengah liter, bukan sekilo lagi, ” ujarnya dengan nada pasrah.

Bu Yani menghadapi hal serupa. Dari biasanya 300 kue ludes setiap pagi, kini hanya 150 yang terjual. Sisanya sering ia bawa pulang atau dijual lebih murah di sore hari. “Kadang malah rugi. Tapi mau gimana lagi, kalau berhenti jualan ya nggak ada pemasukan sama sekali, ” katanya sambil merapikan baki kuenya. Bahkan Pak Jaya, tukang ojek pasar, ikut merasakan. “Kalau pasar sepi, orang belanja sedikit, otomatis angkutan barang juga berkurang. Dulu sehari bisa dapat 15 kali angkut, sekarang paling 7 atau 8, ” keluhnya.

Cerita mereka hanyalah potongan kecil wajah ekonomi riel di pasar-pasar tradisional. Melemahnya daya beli, berarti roda konsumsi masyarakat melambat. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB Indonesia. Jika ini tersendat, pertumbuhan ekonomi sulit berlari kencang.

Di balik itu, pemerintah mencoba memainkan peran. Dana segar yang digelontorkan untuk memperkuat perbankan dimaksudkan agar bank punya ruang lebih luas menyalurkan kredit. Dengan modal lebih besar, bank diharapkan berani menurunkan bunga, memberi syarat lebih mudah, dan membuka akses bagi UMKM.

Secara teori, ini masuk akal. Bank yang lebih likuid akan lebih agresif menyalurkan kredit. Jika kredit lebih mudah diakses, UMKM bisa mendapat tambahan modal untuk memperluas usaha. Dari sini lahir efek berantai: produksi meningkat, lapangan kerja bertambah, penghasilan pekerja naik, dan daya beli masyarakat ikut terdongkrak.

Namun di warung kopi, keraguan lebih besar ketimbang optimisme. “Bank itu kalau lihat usaha kita suka nggak yakin. Katanya kecil, nggak bankable, ” ujar Pak Rahmat. “Padahal kita tiap hari langsung berhadapan sama pembeli. Kalau kita bisa jalan, ekonomi di kampung juga ikut hidup.”

Keraguan itu bukan tidak beralasan. Program kredit murah bukan sekali ini diumumkan. Tetapi di lapangan, syarat administrasi yang rumit, agunan yang berat, dan proses panjang membuat UMKM kecil tersisih. Sementara itu, perusahaan besar lebih cepat mengakses dana.

Padahal, UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Lebih dari 60 persen PDB disumbang sektor ini, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen. Jumlahnya pun fantastis: lebih dari 65 juta unit usaha tersebar di seluruh pelosok negeri.

Dari warung kopi kecil, pengrajin rotan di desa, hingga petani sayur di kaki gunung—merekalah denyut nadi ekonomi sebenarnya. Jika UMKM bisa bangkit, pasar lokal akan hidup kembali. Bu Yani bisa mempekerjakan tetangga untuk membantu memproduksi kue, Pak Rahmat bisa menambah karyawan di kiosnya, dan Pak Jaya si tukang ojek bisa mengangkut lebih banyak barang.

Efek domino dari perputaran ekonomi lokal ini jauh lebih nyata ketimbang proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Namun selama akses modal terhambat, banyak UMKM hanya bertahan hidup. Mereka ibarat kapal kecil yang terus berlayar, tapi tak pernah bisa menempuh jarak lebih jauh karena angin tak sampai.

Sore itu, pasar mulai sepi. Bu Yani menutup lapak lebih cepat dari biasanya. Di rumah, ia menghitung hasil penjualan lalu membandingkannya dengan kebutuhan keluarga. Raut wajahnya murung, tapi ia kembali teringat berita pagi tadi. Meski masih samar, ada secercah harapan. “Kalau dana segede itu benar-benar bisa bikin orang punya duit lagi, insya Allah dagangan kita laku lagi, ” gumamnya.

Harapan itu sederhana, tapi kuat. UMKM tidak meminta keajaiban, hanya akses yang lebih adil. Jika bank benar-benar menyalurkan kredit dengan bunga rendah dan syarat mudah, jika daya beli masyarakat terdongkrak, maka usaha kecil bisa bernapas lebih lega.

Pak Rahmat menutup harinya dengan satu keyakinan: ekonomi bukan soal seberapa besar dana yang dikucurkan dari Bank Indonesia, melainkan seberapa penuh kantong rakyat kecil di pasar. Gairah masyarakat berbelanja bertambah, karena daya beli pulih. Pasar kembali ramai, warung, kios ditepi jalan dan lapak sederhana barang dagangannya ludes, habis terjual.

Pendapatan mereka miningkat karena volume jualan bisa ditingkatkan, kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah anak, cicilan hutang lancar, kebutuhan sehari-hari bisa dipenuhi. Sesederhana itu harapan pak rahmat, bu yani, pak jaya dan kawan-kawan mereka dipasar

 

sources references https://sumbar.wartadesa.co.id/denyut-pasar-yang-menunggu-hidup-kembali

Berita

Post navigation

Previous Post: KDMP: Menakar, Menalar, Dan Menggerakkan Koperasi Desa Merah Putih
Next Post: Politik kemarin, pesan Presiden RI di bioskop dan surat untuk menteri

More Related Articles

Ngarai Sianok Festival 2025 Hidupkan Semangat Pariwisata dan Kreativitas Bukittinggi Berita
Permohonan Audensi Belum Direspon DPRD, PPDI Kerinci Rencanakan Aksi Unjuk Rasa – Puskominfo PPDI Berita
Kemenhub siapkan 33.369 sarana angkutan Lebaran 2024 lintas moda Berita
Waketum DPP KNPI Saiful Chaniago: Terlibat Perjudian, Kemenkomdigi Wajib Dievaluasi Total Berita
Sikapi Permainan Proyek, Plt Kepala Kantor Kemenag Pesisir Selatan Berjanji Turun Tangan Berita
China harap isi surat Trump sesuai pembicaraan telepon Xi Jinping Berita

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Setahun pemerintahan, ke mana “Wahyu Makutharama”?
  • Muhammadiyah Asahan Siapkan Rangkaian Milad ke-113 dan Kejurda Tapak Suci
  • SK Kadarkum [Kelompok Keluarga Sadar Hukum]
  • Harga emas UBS dan Galeri24 di Pegadaian Senin ini kompak stabil
  • Ngarai Sianok Festival 2025 Hidupkan Semangat Pariwisata dan Kreativitas Bukittinggi

Recent Comments

No comments to show.

Archives

  • October 2025
  • September 2025
  • August 2025
  • July 2025
  • June 2025
  • May 2025
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025
  • December 2024
  • November 2024
  • October 2024
  • September 2024
  • August 2024
  • July 2024
  • June 2024
  • May 2024
  • April 2024
  • March 2024
  • February 2024

Categories

  • Berita

Copyright © 2025 Media Tawangsari.

Powered by PressBook Green WordPress theme