Media Tawangsari

Kelompok Informasi Masyarakat

Denyut Pasar yang Menunggu Hidup Kembali

oleh : Indra Gusnady

Pagi itu, suasana Pasar Minggu tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hiruk-pikuk pedagang membuka lapak, suara motor pengangkut barang yang keluar-masuk, dan aroma sayur segar bercampur dengan gorengan hangat. Di pojok pasar, sebuah warung kopi sederhana menjadi tempat singgah banyak pedagang. Kursi kayu berjejer, televisi kecil menggantung di sudut, dan percakapan riuh mengiringi aroma kopi hitam yang baru diseduh.

Pak Rahmat, penjual sembako yang sudah dua puluh tahun membuka kios, duduk sambil membuka koran. Matanya tertumbuk pada sebuah berita besar: “Pemerintah mencairkan dana jumbo, 200 Trilyun! dari Bank Indonesia untuk memperkuat likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit.” Ia membacakan dengan suara agak lantang, membuat Bu Yani—penjual kue basah—ikut menoleh. “Wah, katanya ada uang segede itu masuk ke bank. Katanya supaya kredit lancar, UMKM bisa terbantu, ” ujarnya dengan nada setengah tak percaya.

Bu Yani tersenyum kecut. “Kalau bener, semoga kita kebagian. Soalnya sejak tahun lalu, penjualan turun terus. Orang makin hemat, jarang belanja jajan. Kalau ada modal murah, bisa bikin varian baru, ” katanya. Obrolan itu menarik perhatian pedagang lain. Sontak warung kopi berubah jadi forum kecil membicarakan nasib mereka. Bagi pelaku usaha kecil, kabar besar semacam ini bukan sekadar angka di koran. Itu adalah harapan, meski seringkali hanya berhenti di tataran wacana.

Kenyataan di pasar tak seindah kabar yang mereka dengar. Sejak pandemi, ditambah inflasi yang merangkak naik, daya beli masyarakat kian rapuh. Penghasilan banyak orang tak secepat harga kebutuhan. Akibatnya, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama ekonomi menurun pelan tapi pasti. Pak Rahmat merasakannya betul. Dulu, ia bisa menjual sepuluh karung beras dalam seminggu. Kini, setengahnya pun belum tentu habis. “Orang lebih sering beli setengah liter, bukan sekilo lagi, ” ujarnya dengan nada pasrah.

Bu Yani menghadapi hal serupa. Dari biasanya 300 kue ludes setiap pagi, kini hanya 150 yang terjual. Sisanya sering ia bawa pulang atau dijual lebih murah di sore hari. “Kadang malah rugi. Tapi mau gimana lagi, kalau berhenti jualan ya nggak ada pemasukan sama sekali, ” katanya sambil merapikan baki kuenya. Bahkan Pak Jaya, tukang ojek pasar, ikut merasakan. “Kalau pasar sepi, orang belanja sedikit, otomatis angkutan barang juga berkurang. Dulu sehari bisa dapat 15 kali angkut, sekarang paling 7 atau 8, ” keluhnya.

Cerita mereka hanyalah potongan kecil wajah ekonomi riel di pasar-pasar tradisional. Melemahnya daya beli, berarti roda konsumsi masyarakat melambat. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB Indonesia. Jika ini tersendat, pertumbuhan ekonomi sulit berlari kencang.

Di balik itu, pemerintah mencoba memainkan peran. Dana segar yang digelontorkan untuk memperkuat perbankan dimaksudkan agar bank punya ruang lebih luas menyalurkan kredit. Dengan modal lebih besar, bank diharapkan berani menurunkan bunga, memberi syarat lebih mudah, dan membuka akses bagi UMKM.

Secara teori, ini masuk akal. Bank yang lebih likuid akan lebih agresif menyalurkan kredit. Jika kredit lebih mudah diakses, UMKM bisa mendapat tambahan modal untuk memperluas usaha. Dari sini lahir efek berantai: produksi meningkat, lapangan kerja bertambah, penghasilan pekerja naik, dan daya beli masyarakat ikut terdongkrak.

Namun di warung kopi, keraguan lebih besar ketimbang optimisme. “Bank itu kalau lihat usaha kita suka nggak yakin. Katanya kecil, nggak bankable, ” ujar Pak Rahmat. “Padahal kita tiap hari langsung berhadapan sama pembeli. Kalau kita bisa jalan, ekonomi di kampung juga ikut hidup.”

Keraguan itu bukan tidak beralasan. Program kredit murah bukan sekali ini diumumkan. Tetapi di lapangan, syarat administrasi yang rumit, agunan yang berat, dan proses panjang membuat UMKM kecil tersisih. Sementara itu, perusahaan besar lebih cepat mengakses dana.

Padahal, UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Lebih dari 60 persen PDB disumbang sektor ini, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen. Jumlahnya pun fantastis: lebih dari 65 juta unit usaha tersebar di seluruh pelosok negeri.

Dari warung kopi kecil, pengrajin rotan di desa, hingga petani sayur di kaki gunung—merekalah denyut nadi ekonomi sebenarnya. Jika UMKM bisa bangkit, pasar lokal akan hidup kembali. Bu Yani bisa mempekerjakan tetangga untuk membantu memproduksi kue, Pak Rahmat bisa menambah karyawan di kiosnya, dan Pak Jaya si tukang ojek bisa mengangkut lebih banyak barang.

Efek domino dari perputaran ekonomi lokal ini jauh lebih nyata ketimbang proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Namun selama akses modal terhambat, banyak UMKM hanya bertahan hidup. Mereka ibarat kapal kecil yang terus berlayar, tapi tak pernah bisa menempuh jarak lebih jauh karena angin tak sampai.

Sore itu, pasar mulai sepi. Bu Yani menutup lapak lebih cepat dari biasanya. Di rumah, ia menghitung hasil penjualan lalu membandingkannya dengan kebutuhan keluarga. Raut wajahnya murung, tapi ia kembali teringat berita pagi tadi. Meski masih samar, ada secercah harapan. “Kalau dana segede itu benar-benar bisa bikin orang punya duit lagi, insya Allah dagangan kita laku lagi, ” gumamnya.

Harapan itu sederhana, tapi kuat. UMKM tidak meminta keajaiban, hanya akses yang lebih adil. Jika bank benar-benar menyalurkan kredit dengan bunga rendah dan syarat mudah, jika daya beli masyarakat terdongkrak, maka usaha kecil bisa bernapas lebih lega.

Pak Rahmat menutup harinya dengan satu keyakinan: ekonomi bukan soal seberapa besar dana yang dikucurkan dari Bank Indonesia, melainkan seberapa penuh kantong rakyat kecil di pasar. Gairah masyarakat berbelanja bertambah, karena daya beli pulih. Pasar kembali ramai, warung, kios ditepi jalan dan lapak sederhana barang dagangannya ludes, habis terjual.

Pendapatan mereka miningkat karena volume jualan bisa ditingkatkan, kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah anak, cicilan hutang lancar, kebutuhan sehari-hari bisa dipenuhi. Sesederhana itu harapan pak rahmat, bu yani, pak jaya dan kawan-kawan mereka dipasar

 

sources references https://sumbar.wartadesa.co.id/denyut-pasar-yang-menunggu-hidup-kembali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *